Laman

*03. ABU DZAR AL-GHIFARI*

Semalam bersama 60 sahabat Rosul

Abu Dzar al Ghifari RA, yang nama aslinya Jundub bin Janadah berasal dari Bani Ghifar yang tinggal jauh dari kota Makkah, tetapi ia merupakan kelompok sahabat yang pertama memeluk Islam(as sabiqunal awwalun). Ia termasuk orang yang menentang pemujaan berhala pada jaman jahiliah, karena itu ia langsung tertarik ketika mendengar kabar tentang seorang nabi yang mencela berhala dan para pemujanya.
Ia merupakan orang dewasa ke lima atau ke enam yang memeluk Islam. Ketika ia menceritakan kepada Nabi SAW bahwa ia berasal dari Ghifar, beliau tersenyum penuh kekaguman. Bani Ghifar terkenal sebagai perampok yang suka mencegat kafilah dagang di belantara padang pasir. Mereka sangat ahli melakukan perjalanan di malam hari, gelap gulita bukan halangan bagi mereka, karena itu kabilah ini sangat ditakuti oleh kafilah dagang. Nabi SAW makin takjub ketika mengetahui bahwa  Abu Dzar datang sendirian hanya untuk mendengar dan mengikuti risalah Islam yang beliau bawa, yang sebenarnya baru didakwahkan secara sembunyi-sembunyi. Beliau hanya bisa berkata, "Sungguh Allah memberikan hidayah kepada siapa yang dikehendakiNya…"
Setelah keislamannya, beliau menyarankan agar ia menyembunyikan keimanannya dan kembali kepada kaumnya sampai waktunya Allah memberikan kemenangan. Karena sebagai perantau yang sendirian, akan sangat berbahaya jika diketahui ia telah memeluk agama baru yang menentang penyembahan berhala. Ia bisa memahami saran beliau tersebut, tetapi jiwa seorang Ghifar yang pantang takut dan menyerah seolah memberontak, ia berkata, "Demi Tuhan yang menguasai nyawaku, aku takkan pulang sebelum meneriakkan keislamanku."
Ia berjalan ke Masjidil Haram, dan di sana ia meneriakkan syahadat sekeras-kerasnya. Itulah teriakan dan lantunan keras syahadat yang pertama di masjidil haram, dan mungkin juga yang pertama di bumi ini. Tak ayal lagi orang-orang musyrik merubung dan memukulinya hingga ia jatuh pingsan.
Abbas bin Abdul Muthalib, paman Nabi SAW yang mendengar kabar tersebut segera  datang ke masjid, tetapi melihat kondisinya, tidak mudah melepaskan Abu Dzar dari kemarahan massa, karena itu ia berkata diplomatis, "Wahai orang Quraisy, dia adalah orang dari Kabilah Bani Ghifar. Dan kalian semua adalah kaum pedagang yang selalu melewati daerah mereka. Apa jadinya jika mereka tahu kalian telah menyiksa anggota keluarganya??"Merekapun melepaskannya.     
Kembali ke daerahnya, Abu Dzar mendakwahkan risalah Islam kepada kaumnya, sehingga sedikit demi sedikit mereka memeluk Islam. Ia juga mendakwahkan kepada kabilah tetangganya, Bani Aslam, sehingga cahaya hidayah menerangi kabilah ini. Beberapa tahun kemudian ketika Nabi SAW sudah tinggal di Madinah, serombongan besar manusia datang dengan suara gemuruh, kalau tidaklah gema takbir yang terdengar, pastilah mereka mengira sedang diserang musuh. Ternyata mereka adalah Kabilah Bani Ghifar dan Bani Aslam, dua kabilah yang terkenal jadi momok perampokan kafilah dagang di belantara padang pasir, berkamuflase menjadi raksasa pembela kebenaran dan penebar kebaikan. Dan hidayah Allah  tersebut datang melalui tangan Abu Dzar.
*Rombongan kabilah Ghifar sampai di Madinah*
Hari-hari berlalu mengikuti peredaran masa, Rasulullah telah hijrah ke Madinah dan menetap di sana bersama Kaum Muslimin. Pada suatu hari, satu barisan panjang yang terdiri atas para pengendara dan pejalan kaki menuju pinggiran kota, meninggalkan kepulan debu di belakang mereka. Kalau bukanlah bunyi suara takbir mereka yang gemuruh, tentulah.yang melihat akan menyangka mereka itu suatu pasukan tentara musyrik yang hendak menyerang kota. Rombongan besar itu semakin dekat . . . lalu masuk ke dalam. kota … dan menujukan langkah mereka ke masjid Rasul ullah dan tempat kediamannya. Ternyata rombongan itu tiada lain dari kabilah-kabilah Ghifar dan Aslam yang dikerahkan semuanya oleh Abu Dzar dan tanpa kecuali telah masuk Islam; laki-laki, perempuan, orang tua, remaja dan anak-anak.
Rasulullah melayangkan pandangannya kepada wajah-wajah yang berseri-seri, pandangan yang diliputi rasa haru dan cinta kasih. Sambil menoleh kepada suku Ghifar, ia bersabda: Suku Ghifar telah dighafar — diampuni — oleh Allah. Kemudian sambil menghadap kepada suku Aslam, sabdanya pula :Suku Aslam telah disalam — diterima dengan damai oleh Allah. Begitu utama karakter & sifat Abu Dzar, sampai Rasulullah bersabda: Takkan pernah lagi dijumpai di bawah langit ini, orang yang lebih benar ucapannya dari Abu Dzar. Sungguh, Rasulullah saw. bagai telah membaca hari depan shahabatnya itu, dan menyimpulkan kesemuanya pada kalimat, tersebut. Kebenaran yang disertai keberanian, itulah prinsip hidup Abu Dzar secara keseluruhan! Benar bathinnya, benar pula lahirnya. Benar ‘aqidahnya, benar pula ucapannya.
Ia akan menjalani hidupnya secara benar, tidak akan melakukan kekeliruan. Dan kebenarannya itu bukanlah keutamaan yang bisu, karena bagi Abu Dzar, kebenaran yang bisu bukanlah kebenaran! yang dikatakan benar ialah menyatakan secara ter buka dan terus terang, yakni menyatakan yang haq dan menentangyang bathil, menyokong yang betul dan meniadakan yang salah. Benar itu kecintaan penuh terhadap yang haq, mengemukakan nya secara berani dan melaksanakannya secara terpuji.

*Masa Khulafaurasyidin*
Masa Rasulullah berlalulah sudah, disusul kemudian oleh masa. Abu Bakar, kemudian masa Umar. Dalam kedua Khilafah ini masih dapat dijinakkan sebaik-baiknya godaan hidup dan unsur-unsur fitnah pemecah belah, hingga nafsu angkara yang haus dahaga tidak beroleh angin atau mendapatkan jalan.
Akan tetapi setelah khalifah besar yang teramat adil dan paling mengagumkan di antara tokoh kemanusiaan telah pergi, terasa adanya kehampaan dalam kepemimpinan. Bahkan hal tersebut menimbulkan kemunduran yang tak dapat dikuasai dan dibatasi oleh tenaga manusia. Sementara itu meluasnya ajaran Al-Islam ke berbagai pelosok dunia menumbuhkan ke makmuran hidup. Orang yang tidak dapat menahan godaan dunia banyak yang terjerumus ke dalam kemewahan yang melebihi batas. Abu Dzar melihat bahaya ini …
Abu Dzar menujukan sasarannya yang pertama terhadap poros utama kekuasaan dan gudang raksasa kekayaan, yaitu Syria, tempat bercokolnya Mu’awiyah bin Abi Sufyan yang memerintah wilayah Islam paling subur, paling banyak hasil bumi dan paling kaya dengan barang upetinya. Mu’awiyah telah memberikan dan membagi-bagikan harta tanpa perhitungan, dengan tujuan untuk mengambil hati orang-orang terpandang dan berpengaruh, dan demi terjaminnya masa depan yang masih dirindukannya.

Dengan tidak merasa gentar ditanyainya Mu’awiyah tentang kekayaannya sebelum menjadi wali negeri dan kekayaannya sekarang, Mengenai rumah yang dihuninya di Mekah dulu, dan mahligai-mahligainya, yang ter dapat di Syria dewasa ini, Kemudian dihadapkannya pertanyaan kepada para shahabat yang duduk di sekelilingnya, yaitu yang ikut bersama Mu’awiyah ke Syria dan telah memiliki gedung-gedung serta, tanah-tanah
pertanian yang luas pula. Lalu ia berseru kepada semua yang hadir: “Apakah tuan-tuan yang sewaktu Qur’an diturunkan kepada Rasulullah, ia berada di lingkungan tuan-tuan”. dijawaban pertanyaan itu oleh Abu dzar sendiri, katanya: “Benar, kepada tuan-tuanlah alQuran diturunkan, dan tuan-tuanlah yang telah mengalami sendiri berbagai peperangan!” Kemudian diulangi pertanyaannya: “Tidakkah tuan-tuan jumpai dalam alQuran ayat ini”: Dan orangorang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafqahkannya di jalan Allah, bahwa mereka akan menerima siksa yang pedih. Yaitu ketika emas dan perak dipanaskan dalam api neraka, lalu diseterikakan ke kening, ke pinggang dan ke punggung mereka — sambil dikata kan —. Nah, inilah dia yang kalian simpan untuk diri kalian itu, maka rasailah akibatnya!”(Q.S. 9 atTaubah:24 — 35). Mu’awiyah memotong jalan pembicaraannya, katanya: “Ayat ini diturunkan kepada Ahlul Kitab!”, “tidak!”, seru Abu Dzar; “bahkan ia diturunkan kepada kita dan kepada mereka!”. Abu Dzar menasehati Mu’awiyah & para anak buahnya agar melepaskan harta kekayaan itu & tidak menyimpan untuk diri sendiri kecuali sekedar keperluan sehari-hari.

Mu’awiyah yang cemas akan perbuatan Abu Dzar, menulis surat kepada Kholifah Utsman r.a yang isi nya: “Abu Dzar telah merusak orang-orang Syria”. Kemudian Abu Dzar pun bergegas ke madinah. “Aku tidak memerlukan dunia tuan-tuan. . ”Demikianlah jawaban yang diberikan oleh Abu Dzar kepada Utsman setelah ia tiba di Madinah, yakni setelah berlangsung diskusi yang lama antara mereka. Utsman menyadari bahwa aksi yang di lakukan oleh Abu Dzar akan membawa distabilitas negara, dikarenakan dukungan sebagian besar rakyat terhadap pendapat Abu Dzar. Maka Utsman memutuskan untuk membatasi ruang gerak Abu Dzar, yaitu dengan menawari beliau untuk tinggal di Madinah. katanya: “Tinggallah di sini di sampingku! Disediakan bagimu unta
yang gemuk, yang akan mengantarkan susu pagi dan sore!” “Aku tak perlu akan dunia tuan-tuan!”, ujar Abu Dzar.
Abu Dzar meminta kepada khalifah Ustman agar diberi izin tinggal di Rabadzah. Pada suatu hari sewaktu ia sedang berada di Rabadzah, datanglah perutusan dari Kufah memintanya untuk mengibarkan bendera pemberontakan terhadap khalifah. Maka disemburnya mereka dengan kata-kata tegas sebagai berikut: “Demi Allah, seandainya Utsman hendak menyalibku di tiang kayu yang tertinggi atau di atas bukit sekalipun, tentulah saya dengar titahnya dan saya taati, saya ber-shabar dan sadarkan diri, dan saya merasa bahwa demikian adalah yang sebaikbaiknya bagiku . . .! ““Dan seandainya ia menyuruhku berkelana dari ujung ke ujung dunia, tentulah akan saya dengar dan taati, saya bershabar dan sadarkan diri, dan saya merasa bahwa demikian adalah yang sebaikbaiknya bagiku . . .!” “Begitu pun jika ia meyuruhku pulang ke rumahku, tentulah akan saya dengar dan taati, saya bershabar dan sadarkan diri, dan saya merasa bahwa –demikian adalah yang sebaikbaiknya bagiku … !”
Abu Dzar berkeinginan agar tak seorang pun di antara shaha bat Rasul menjadi pejabat atau pengumpul harta, tetapi hendak lah mereka tetap menjadi pelopor kepada hidayah Allah dan pengabdi bagiNya. Ia telah mengenali benar tipu daya dunia dan harta ini. Telah pula didengarnya Nabi saw. memperingatkan shahabat akan daya tarik dari jabatan ini dan dinasihatkannya:
Ini merupakan amanat, dan di hari qiamat menyebab kan kehinaan dan penyesalan . . . , kecuali orang yang mengambilnya secara benar, dan menunaikan kewajiban yang dipikulkan kepadanya . . . “
Hidupnya dibaktikan untuk menentang penyalahgunaan kekuasaan dan penumpukan harta! Untuk Menjatuhkan yang salah dan menegakkan yang benar! Mengambil alih tanggung jawab untuk menyampaikan nasihat dan per ingatan!

*Wafatnya Abu Dzar Al-Ghifari*
Saat akhir kehidupannya, ketika Abu Dzar mengalami sakaratul maut, istri yang menungguinya menangis. Ia berkata,  "Apa yang engkau tangisi, padahal maut itu pasti datang??"
"Bukan itu," Kata istrinya, "Engkau meninggal, padahal tidak ada kain untuk mengkafani jenazahmu!!"
Abu Dzar tersenyum sambil matanya menerawang jauh, seolah mengingat sesuatu. Ia berkata, "Aku ingat, junjunganku, Rasulullah SAW berkata pada sekelompok sahabat termasuk aku, 'Ada salah satu dari kalian yang meninggal di padang pasir yang liar dan terpencil, yang akan disaksikan oleh serombongan orang beriman.' Semua sahabat yang hadir di majelis tersebut telah meninggal syahid atau di hadapan kaum muslimin, kecuali aku. Nah, kalau aku telah meninggal, perhatikanlah jalan (riwayat lain, letakkan aku di sisi jalan), agar rombongan orang beriman itu melihatku. Demi Allah aku tidak bohong, dan tidak pula dibohongi (oleh Nabi SAW)…"
Ternyata benar, tidak lama setelah kewafatannya, sebuah kafilah lewat tak jauh dari tempatnya, dan kemudian membelokkan arah menuju sosok mayat yang sedang ditangisi oleh dua orang, istri dan anak Abu Dzar, berada. Sahabat Abdullah bin Mas'ud yang memimpin rombongan tersebut langsung mengenalinya sebagai Abu Dzar. Ia berurai air mata melihat keadaan sahabatnya tersebut, sambil berkata,  "Benarlah Rasulullah SAW, anda berjalan seorang diri, anda meninggal seorang diri, dan anda akan dibangkitkan pula seorang diri…"
Sebagian riwayat menyebutkan, ketika kafilah yang dipimpin Abdullah bin Mas'ud itu sampai di tempatnya, ia masih hidup dalam keadaan sakaratul maut. Ia berkata kepada mereka, "..seandainya aku dan istriku mempunyai kain, tentu aku ingin dikafani dengan kainku atau milik istriku. Tetapi aku minta dengan nama Allah, janganlah seseorang yang pernah menjabat gubernur, walikota, atau penguasa apapun yang mengafani aku!!”
Ternyata hampir semua anggota kafilah tersebut pernah memangku jabatan yang disebutkannya, kecuali satu orang sahabat Anshar. Dia  berkata, "Wahai pamanku, akulah yang tidak pernah menjabat seperti yang engkau sebutkan, aku yang akan mengafani jenazahmu dengan sorbanku dan dua bajuku yang ditenun sendiri oleh ibuku!!”
"Hanya engkau yang boleh mengafani jenazahku," Kata Abu Dzar.
Setelah Abu Dzar wafat, mereka merawat jenazahnya dan sahabat Anshar tadi yang mengafaninya. Setelah  itu mereka pulang ke Madinah dengan gembira, terutama sahabat Anshar tersebut, karena mereka telah masuk dalam bagian dari realisasi sabda Nabi SAW seperti yang disampaikan Abu Dzar. Dan kegembiraan apalagi yang lebih besar, bahwa Nabi SAW menyebut dan menjamin mereka sebagai "rombongan orang beriman."

*Ibroh yang bisa kita ambil dari perjalanan Abu Dzar*
1.kegigihan dalam mewujudkan apa yang menjadi cita-citanya, akan mengesampingkan faktor penghambat
2.sabar dalam menempuh cobaan
3.Kebenaran yang disertai keberanian, masuk nya secara benar, prosesnya benar, langkahnya benar, tidak akan muncul tanpa aqidah yang benar
4.Jangan menyembunyikan kebenaran yang diyakini, kebenaran yang bisu bukanlah kebenaran
5.Ketegasan dalam memegang prinsip akan menghasilkan pribadi yang menyokong yang benar dan meniadakan yang salah.
6.Mewujudkan kecintaannya kepada Al-haq, mengemukakan nya secara berani dan melaksanakannya secara terpuji.
7.Ketegasan prinsip tidak akan dimiliki oleh pribadi yang masih dimiliki oleh dunia & nafsunya
8.Taat & patuh kepada pimpinan yang berhak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar