Laman

*05. ABDULLAH BIN UMAR*

*SIANG HARI BERSAMA 60 SAHABAT ROSULULLOH*

*TEKUN BERIBADAH DAN MENDEKATKAN DIRI KEPADA ALLOH SWT*

Sewaktu telah berada di puncak usianya yang tinggi, ia berbicara: Saya telah bai’at kepada Rosululloh SAW saw Maka sampai saat ini, saya tak pernah belot atau mungkir janji. Dan saya tak pernah bai’at kepada pengobar fitnah.
Dalam kalimat-kalimat di atas tersimpul secara ringkas tapi padat kehidupan seorang laki-laki shalih yang lanjut usia, melebihi usia 80 tahun, dan telah memulai hubungannya dengan Rosululloh SAW dan Dien Islam semenjak berusia 13 tahun, yaitu ketika ia ingin menyertai ayahandanya dalam Perang Badar, dengan harapan akan beroleh tempat dalam deretan para pejuang, kalau tidak ditolak oleh Rosululloh SAW disebabkan usianya yang masih terlalu muda. Semenjak saat itu bahkan sebelumnya lagi, yakni ketika ia menyertai ayahandanya dalam hijrahnya ke Madinah, hubungan anak yang cepat matang kepribadiannya itu dengan Rosululloh SAW dan Dien Islam, mulai terjalin.

Diperhatikannya apa kiranya yang dilakukan oleh Rosululloh SAW mengenai sesuatu urusan, maka ditirunya secara cermat dan teliti. Misalnya Rosululloh SAW saw pernah melakukan shalat di suatu tempat, maka Ibnu Umar melakukannya pula di tempat itu. Di tempat lain umpamanya Rosululloh SAW saw. pernah berdu’a sambil berdiri, maka Ibnu Umar berdo’a di tempat itu sambil berdiri pula. Di sana Rosululloh SAW pernah berdo’a sambil duduk, maka Ibnu Umar berdo’a di sana sambil duduk pula. Rosululloh SAW pernah turun dari punggung untanya pada suatu hari dan melakukan shalat dua raka’at, maka Ibnu Umar tak hendak ketinggalan melakukannya, jika dalam perjalanannya ia kebetulan lewat di daerah itu dan tempat itu.

Bahkan  ia takkan lupa bahwa unta tunggangan Rosululloh SAW berputar dua kali di suatu tempat di kota Mekah sebelum Rosululloh SAW turun dari atasnya untuk melakukan shalat dua raka’at, walaupun barangkali unta itu berkeliling dengan suatu maksud untuk mencari tempat baginya yang cocok untuk bersimpuh nanti. Tapi Abdullah ibnu Umar baru saja sampai di tempat itu, ia segera membawa untanya berputar dua kali kemudian baru bersimpuh, dan setelah itu ia shalat dua raka’at, sehingga persis sesuai dengan perbuatan Rosululloh SAW yang telah disaksikannya.

Orang-orang yang semasa dengannya mengatakan: “Tak seorang pun di antara shahabat -shahabat Rosululloh SAW yang lebih berhati-hati agar tidak terselip atau terkurangi sehuruf pun dalam menyampaikan Hadits Rosululloh SAW sebagai halnya Ibnu Umar!”
Pada suatu hari seorang penanya datang kepadanya untuk meminta fatwa. Dan setelah orang itu memajukan pertanyaan, Ibnu Umar menjawab “Saya tak tahu tentang masalah yang anda tanyakan itu.” Orang itu pun berlalulah, dan baru beberapa langkah ia meninggalkannya, Ibnu Umar bertepuk tangan seraya berkata dalam hatinya: “Ibnu Umar ditanyai orang tentang yang tidak diketahuinya, maka dijawabnya bahwa ia tidak tahu.”
Ia tidak hendak berijtihad untuk memberikan fatwa, karena takut akan berbuat kesalahan.  Dan juga ia menghindarkan diri dari jabatan qadli atau kehakiman, padahal jabatan ini merupakan jabatan tertinggi di antara jabatan kenegaraan dan kemasyarakatan; di samping menjamin pemasukan keuangan, diperolehnya pengaruh dan kemuliaan. Apa perlunya kekayaan, pengaruh dan kemuliaan itu bagi Ibnu Umar!
Dengan penolakannya itu tidaklah akan menyebabkan lowongnya kursi jabatan tersebut atau mengakibatkannya jatuh ke tangan orang-orang yang tidak berwenang. Telah tertanam dalam kehidupan pribadi Ibnu Umar untuk selalu membina dan meningkatkan diri agar lebih sempurna ketaatan dan ibadahnya kepada ALLOH SWT.
Apalagi bila dikaji kehidupan Dien Islam di waktu itu, ternyata bahwa dunia telah terbuka pintunya bagi Kaum Muslimin, harta kekayaan melimpah ruah, pangkat dan kedudukan bertambah-tambah. Daya tarik harta dan kedudukan itu telah merangsang dan mempesona hati orang-orang beriman, menyebabkan bangkitnya sebagian shahabat Rosululloh SAW — di antaranya Ibnu Umar — mengibarkan bendera perlawanan terhadap rangsangan dan godaan itu. Caranya ialah dengan menyediakan diri mereka sebagai contoh teladan dalam yuhud dan keshalihan, menjauhi kedudukan-kedudukan tinggi, mengatasi fitnah dan godaannya.

Di waktu remajanya ia pernah bermimpi yang oleh Rosululloh SAW dita’birkan bahwa qiyamul lail itu nantinya akan menjadi campuran tumpuan cita Ibnu Umar, “Di masa Rosululloh SAW saw. saya bermimpi seolah-olah di tanganku ada selembar kain beludru. Tempat mana saja yang saya ingini di surga, maka beludru itu akan menerbangkanku ke sana.
Lalu tampak pula dua orang yang mendatangiku dan ingin membawaku ke neraka. Tetapi seorang Malaikat menghadang mereka, katanya: Jangan ganggu! Maka kedua orang itu pun meluangkan jalan bagiku.
Oleh Hafshah, yaitu saudaraku, mimpi itu diceriterakannya kepada Rosululloh SAW saw. Maka sabda Rosululloh SAW saw.:
“Akan menjadi laki-laki paling utamalah Abdullah itu, andainya ia sering shalat malam dan banyak melakukannya!“
Maka semenjak itu sampai akhir hayatnya, Ibnu Umar tidak pernah meninggalkan qiyamul lail baik di waktu ia mukim atau musafir. Yang dilakukannya ialah shalat, membaca al-Quran dan banyak berdzikir menyebut nama ALLOH SWT., dan yang sangat menyerupai ayahnya ialah air matanya bercucuran bila mendengar ayat-ayat peringatan dari al-Quran.
Ibnu Umar termasuk orang yang hidup ma’mur dan berpenghasilan banyak. Ia adalah seorang saudagar yang jujur dan berhasil dalam sebagian benar dari kehidupannya. Di samping itu gajinya dari Baitulmal tidak sedikit pula: Tetapi tunjangan itu tidak sedikit pun disimpannya untuk dirinya pribadi, tetapi dibagi-bagikan sebanyak-banyaknya kepada orang-orang miskin, yang kemalangan dan peminta-minta.

Pada suatu hari Ibnu Umar menerima uang sebanyak empat ribu dirham dan sehelai baju dingin. Pada hari berikutnya Ibnu Wa-il melihatnya di pasar sedang membeli makanan untuk hewan tunggangannya secara berutang. Maka pergilah Ibnu Wa-il mendapatkan keluarganya, tanyanya: Bukankah kemarin Abu
Abdurrahman — maksudnya Ibnu Umar — menerima kiriman empat ribu dirham dan sehelai baju dingin? ” “Benar”, ujar mereka.
Kata Ibnu Wa-il: “Saya lihat ia tadi di pasar membeli makanan untuk hewan tunggangannya dan tidak punya uang untuk membayarnya. “
Ujar mereka: “Tidak sampai malam hari, uang itu telah habis dibagi-bagikannya. Mengenai baju dingin, mula-mula dipakainya, lalu ia pergi ke luar. Tapi ketika kembali, baju itu tidak kelihatan lagi; dan ketika kami tanyakan, jawabnya bahwa baju itu telah diberikannya kepada seorang miskin! “
Maka Ibnu Wa-il pun pergilah sambil menghempas-hempaskan kedua belah telapak tangannya satu sama lain, dan pergi menuju pasar. Di sana ia naik ke suatu tempat yang tinggi dan berseru kepada orang-orang pasar, katanya: “Hai kaum pedagang! Apa yang tuan-tuan lakukan terhadap dunia? Lihat Ibnu Umar, datang kiriman kepadanya se-banyak empat ribu dirham, lalu dibagi-bagikannya hingga esok pagi ia membelikan hewan tunggangannya makanan secara utang! “
Dan kedermawanan ini, baginya bukanlah sebagai alat untuk mencari nama, atau agar dirinya menjadi buah bibir dan sebutan orang. Oleh sebab itu pemberiannya hanya ditujukannya kepada fakir miskin dan yang benar-benar membutuhkan. Jarang sekali makan seorang diri, karena pasti disertai oleh anak-anak yatim dan golongan melarat. Sebaliknya ia seringkali memarahi dan menyalahkan sebagian putera-puteranya, ketika mereka menyediakan jamuan untuk orang-orang hartawan, dan tidak mengundang fakir miskin, katanya: “Kalian mengundang orangorang yang dalam kekenyangan, dan kalian biarkan orang-orang yang kelaparan!”

Bagi Ibnu Umar harta itu adalah sebagai pelayan, dan bukan sebagai tuan atau majikan! Harta hanyalah alat untuk mencukupi keperluan hidup dan bukan untuk bermewah-mewahan. Dan hartanya itu bukanlah miliknya semata, tapi padanya ada bagian tertentu haq fakir miskin, jadi merupakan hak yang serupa tak ada hak istimewa bagi dirinya.

Salah seorang shahabatnya yang baru pulang dari Khurasan menghadiahkan sehelai baju halus yang indah kepadanya, serta katanya: “Saya bawa baju ini dari Khurasan untukmu! Dan alangkah senangnya hatiku melihat kamu menanggalkan pakaianmu yang kasar ini, lalu menggantinya dengan baju baru yang indah ini!”
“Coba lihat dulu”, jawab Ibnu Umar. Lalu dirabanya baju itu dan tanyanya: “Apakah ini sutera?” “Bukan”, ujar kawannya itu, “itu hanya katun”. Ibnu Umar mengusap-usap baju itu sebentar, kemudian diserahkannya kembali, katanya: “Tidak, saya khawatir terhadap diriku! Saya takut ia akan menjadikan diriku sombong dan megah, sedang ALLOH SWT tidak menyukai orang-orang sombong dan bermegah diri“
Pada suatu hari, seorang shahabat memberinya pula sebuah kotak yang berisi penuh.
“Apa isinya ini?”, tanya Ibnu Umar.
Jawab shahabatnya: “Suatu obat istimewa, saya bawa untukmu dari Irak!”
“Obat untuk penyakit apa”, tanya Ibnu Umar pula.
“Obat penghancur makanan untuk membantu pencernaan”.
Ibnu Umar tersenyum, katanya kepada shahabat itu: “Obat penghancur makanan? Selama empat puluh tahun ini saya tak pernah memakan sesuatu makanan sampai kenyang!”

Ibnu Umar dikaruniai umur panjang dan mengalami masa Bani Umaiyah, di mana harta melimpah ruah, tanah tersebar luas dan kemewahan meraja-lela di kebanyakan rumah, bahkan katakanlah di mahligai-mahligai dan istana-istana! Tapi walau demikian, namun gunung yang mulia ini tetap tegak dan tak tergoyahkan, tak hendak beranjak dari tempatnya dan tak hendak bergeser dari sifat wara’ dan zuhudnya.
Seandainya ia tidak takut kepada ALLOH SWT, tentulah ia akan ikut merebut dunia dan tentulah ia akan berhasil. Tetapi ia tidak perlu berebutan, karena dunia datang sendiri kepadanya, merayunya dengan berbagai kesenangan.

Dengan bermulanya masa Bani Umayah, corak kehidupan mengalami perubahan. Masa itu boleh disebut sebagai masa kelonggaran dalam segala hal, kelonggaran yang tidak saja sesuai dengan keinginan keinginan pemerintah, tetapi juga dengan keinginan-keinginan pribadi dan golongan. Ibnu Umar tetap bertahan dengan segala keutamaannya. Sungguh, ia telah berhasil menjaga tujuan mulia dari kehidupannya sebagai diharapkannya, hingga orang-orang yang semata dengannya melukiskannya sebagai berikut: “Ibnu Umar telah meninggal dunia, dan dalam keutamaan tak ubahnya ia dengan Umar”.

*Ibroh yang bisa kita ambil dari perjalanan Abdullah bin Umar:*
1. Ilmunya yang dia pelajari dari sosok Rosululloh dan ayahnya sendiri Umar dapat ia contoh dalam kehidupan sehari-harinya. Bukan hanya sekedar wawasan.
2. Kerendahan hatinya kepada siapapun
3. Kebulatan tekad dan keteguhan pendirian kepada Dien Islam
4. Kedermawanan dirinya dalam bersedekah kepada fakir dan miskin. Sehingga tidak pernah menumpuk hartanya untuk kepentingan sendiri.
5. Ketekunannya dalam beribadah baik wajib maupun sunnat sampai akhir hayatnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar